Presiden Soekarno Dan Tragedi Lubang Buaya
Sejak masih di bangku Sekolah Dasar
fikiran kita telah diyakinkan dengan sebuah alur cerita keganasan
peristiwa G30S PKI. Dalam benak kita juga dijejalkan suatu illusi
bagaimana para Pahlawan Revolusi mendapat perlakuanyang sadis sebelum
mereka dibunuh dan dimasukkan ke Lubang Buaya. Untuk beberapa tahun
fakta itu sepertinya sebuah kenyataan.
Dengan berakhirnya kekuasaan orba maka
perlahan terjadilah perubahan sudut pandang tentang berbagai hal
menyangkut peristiwa G30S PKI. Bahkan kita baru tahu bagaimana tanggapan
Presiden Soekarno terhadap isyu penyiksaan para Pahlawan Revolusi.
Bung Karno donder mendengar kabar dan
berita yang mengatakan bahwa para perwira Angkatan Darat yang menjadi
korban dalam peristiwa di subuh 1 Oktober 1965
mengalami penyiksaan mahahebat sebelum nyawa mereka dihabisi. Kabar
seperti ini, menurut si Bung, sengaja disebarluaskan untuk membakar
emosi rakyat dan mendorong “gontok-gontokan” di kalangan rakyat yang
akhirnya menjelma menjadi “sembelih-sembelihan”.
Donder pertama saat Bung Karno berbicara
di depan wartawan di Istana Bogor, malam hari, 12 Desember 1965. Donder
kedua, keesokan harinya, saat Bung Karno berbicara di depan gubernur
se-Indonesia, di Istana Negara, 13 Desember 1965.
Kepada para wartawan, cerita Bung Karno
di depan para gubernur, dia bertanya darimana media massa mendapat
cerita tentang kronologi pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira
pertama Angkatan Darat yang diculik kelompok Untung.
Tak ada seorang wartawan pun yang
menjawab. Menteri Penerangan Achmadi, Kepala Dinas Angkatan Darat
Brigjen Ibnu Subroto dan Letkol Noor Nasution yang mengawasi Antara pun
tak bisa mengatakan darimana mereka mendapat kabar itu.
“Saya tidak tahu apakah gubernur-gubernur
tadi malam menyetel radio atau televisi. Maka ada baiknya saya
ceritakan sedikit pendonderan-pendonderan saya tadi malam. Begini,
tatkala sudah terjadi Lubang Buaya,
jenazah-jenazah daripada jenderal dibawa kesana dan dimasukkan ke dalam
sumur. Ooh, itu wartawan-wartawan suratkabar menulis, bahwa
jenderal-jenderal itu disiksa di luar perikemanuiaan. Semua, katanya,
maaf. Saudari-saudari, semuanya dipotong mereka punya kemaluan.”
“Malahan belakangan juga ada di dalam
surat kabar ditulis bahwa ada seorang wanita bernama Djamilah,
mengatakan bahwa motongnya kemaluan itu dengan pisau silet. Bukan satu
pisau silet, tetapi lebih dahulu 100 anggota Gerwani
dibagi silet. Dan silet ini dipergunakan untuk mengiris-ngiris
kemaluan. Demikian pula dikatakan, bahwa di antara jenderal-jenderal itu
matanya dicungkil.”
“Saya pada waktu itu memakai saya punya
gezond verstand, Saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya gezond
verstand, itu saya betwiffelen, ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya
melihat akibat daripada pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya
ialah, masyarakat seperti dibakar. Kebencian menyala-nyala, sehingga di
kalangan rakyat menjadi gontok-gontokkan, yang kemudian malahan menjadi
sembelih-sembelihan.”
“Saudara-saudara mengetahui, bahwa saya
sejak mulanya berkata, jangan, jangan, jangan, jangan
sembelih-sembelihan, jangan gontok-gontokkan, jangan panas-panasan.”
“Nah, Saudara-saudara, waktu belakangan
ini saya dapat bukti, bahwa memang benar sangkaan saya itu, bahwa
jenderal-jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang Buaya
tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya
darimana? Visum repertum daripada team dokter-dokter yang menerima
jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan ke dalam
sumur Lubang Buaya itu.”
“Visum repertum oleh dokter dituliskannya
pro justitia. Bahwa sumpah pro justitia tidak boleh bohong, tidak boleh
menambah, tidak boleh mengurangi. Apa kenyataan itu, harus dimasukkan
dalam visum repertum itu harus jadi pegangan, sebab ini satu kenyataan,
bukan khayalan. Tetapi visum repertum adalah satu kenyataan menurut apa
yang didapatkan oleh dokter itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar